Kamis, 12 Juni 2014

PUM II

PSIKOLOGI SOSIAL
I. Defenisi Psikologi Sosial
Psikologi sosial, cabang dari ilmu Psikologi yang mempelajari bagaimana individu berinteraksi dengan orang lain. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari konteks sosialnya, dimana inidividu itu hidup. Insting kita memang secara natural untuk membentuk hubungan dengan orang lain. Psikologi sosial juga mempelajari tentang ketertarikan, needs (kebutuhan), dan pengaruh-pengaruhnya.

II. Kelompok dan Pengaruh Sosial (Group and Social Influence)
1.      Lynch Mobs
Pergerakan dari kerumunan massa yang terdiri dari sejumlah besar orang di dalamnya yang cenderung negatif. Dapat dicontohkan dari berbagai aksi di Indonesia.Jika seseorang berada dalam kelompok, memiliki kecenderungan lebih besar untuk melakukan tindakan-tindakan yang mungkin tidak dilakukan orang tersebut dalam kondisi sendiri.Dalam beberapa situasi, bila kita bergabung dalam suatu kelompok, kita dapat merasa aninimous dan tidak teridentifikasi. Perasaan ini yang dikenal dengan istilah deindividuation (Zimbardo, 1969). Jadi dapat dikatakan, diindividuation adalah keadaan dimana seseorang akan rendah kesadarannya, mengenai apa yang mereka lakukan dan apa yang orang lain pikirkan tentang mereka saat mereka dalam kelompok. Dan ini meningkatkan kemungkinan mereka melakukan kegiatan yang tidak mungkin mereka lakukan.Saat seseorang berada dalam deindividuation,seseorang lebih agresif dari biasanya.
2.      Uninvolved by Standers
Kasus Kitty Genovese, suatu kejadian dimana kita tidak melakukan sesuatu ketika kita melihat orang lain tidak melakukan sesuatu. Ada sebuah penelitian yang mengatakan, jika seseorang berada dalam kerumunan orang banyak, kita cenderung tidak akan menolong. Mengapa? Menurut Darley and Latané, kehadiran orang lain mempengaruhi persepsi kita tentang perlukah orang lain tersebut ditolong dan tanggung jawab kita untuk menolong. Diffusion of responsibility, konsep dimana, apabila kita berada dalam suatu kelompok berefek pada menurunnya tanggung jawab personal kita untuk berperilaku sesuai.
3.      Working and Solving Problems in Groups
Kita sebagai manusia sering bekerja sama dalam sebuah kelompok. Misalnya belajar bersama, rapat untuk mendiskusikan masalah di dalam perkuliahan ataupun bisnis kita.Apakah ini hal yang baik?Apakah bekerja dalam kelompok menunjukkan sisi yang terbaik dari kita?Terkadang ya dan terkadang tidak.Di beberapa situasi, menjadi anggota sebuah kelompok dapat meningkatkan performa dari individu anggota kelompok tersebut.Hal ini disebut dengan social facilitation (Levine, Resnick, & Higgins, 1993).Akan tetapi, ada juga kemungkinan negatif saat seorang individu bergabung dalam sebuah kelompok kerja.Terkadang menjadi anggota sebuah kelompok justru mengurangi kinerja individu tersebut.Fenomena inilah yang disebut dengan social loafing.
Ada dua keadaan yang menjadi variabel penentu yang mengakibatkan terjadinya social loafing yaitu (a) banyaknya anggota kelompok, dan (b) jenis tugas.Semakin besar sebuah kelompok, semakin berkurang juga kontribusi individual masing-masing anggota kelompok (Sorkin, Hays, & West, 2001). Hal ini dikarenakan oleh 3 hal yakni (1) individu percaya bahwa anggota kelompok lain dapat berkontribusi lebih baik daripada dirinya, (2) karena anggota kelompok lain tidak memberikan respon positif terhadap kontribusi yang diberikan individu tersebut, atau (3) karena individu merasa bahwa ia tidak begitu dibutuhkan dalam kelompok tersebut.
Jenis tugas merupakan faktor penting dalam menunjukkan performa individu di dalam sebuah kelompok. Ketika mengerjakan suatu jenis pekerjaan di dalam kelompok, seorang individu bisa saja merasa terganggu dengan kehadiran individu yang lain. Tetapi bisa juga sebaliknya, kehadiran individu lain justru memacu kinerja individu tersebut menjadi lebih baik. Hal ini dibahas di dalam teori arousal yang sudah dipelajari sebelumnya. Menurut teori tersebut, suatu pekerjaan yang mudah bagi individu akan semakin mudah dan cepat terselesaikan apabila ada individu lain yang menyaksikannya. Namun sebaliknya, pekerjaan yang sulit bagi individu akan semakin sulit dan lama terselesaikan apabila ada individu lain yang menyaksikannya. Misalnya, musisi professional yang sudah sangat terlatih biasanya bermain lebih baik saat pertunjukannya disaksikan oleh banyak orang. Tetapi bagi musisi amatir yang belum terlatih, kehadiran orang lain justru akan membuat penampilannya terganggu.

Pemecahan Masalah dalam Kelompok (Group Problem Solving)
Pada umumnya, orang-orang lebih suka memecahkan masalah yang kompleks secara kelompok daripada memecahkannya sendiri (Laughlin & others, 2003; Sorkin & others, 2001). Tetapi ada saat dimana proses pengambilan keputusan tersebut salah dan berakibat fatal walaupun individu-individu dalam kelompok tersebut dianggap kompeten. Hal inilah yang disebut dengan groupthink (Irvink Jannis, 1982). Ada 3 faktor yang dapat menyebabkan groupthink :
(1)   Proses polarisasi
Polarisasi merupakan suatu keadaan dimana anggota kelompok menyatakan pendapatnya secara lebih ekstrim tanpa memperhitungkan keadaan masalah yang sesungguhnya.
(2)   Sifat kohesif anggota kelompok
Cohesiveness merupakan suatu keadaan dimana anggota kelompok saling terkait secara erat, cenderung berpendapat sama, dan enggan menerima pendapat yang dianggap berbeda dari pendapat umum. Oleh karena itu, pendapat dan keadaan yang bertentangan seringkali tidak dimunculkan sehingga mengarah pada keputusan yang salah.Untuk menghindari hal ini, paling tidak harus ada seorang anggota yang diminta untuk memerankan peranan devil’s advocate, untuk selalu menyatakan pendapat-pendapat yang berbeda dengan pendapat anggota kelompok pada umumnya.
(3)   Jumlah individu dalam kelompok
Jumlah anggota kelompok sangat berpengaruh terhadap proses interaksi dalam kelompok. Dalam kelompok kecil, interaksinya bersifat dialog interaktif karena semua dapat saling bertukar pikiran secara langsung. Sedangkan dalam kelompok, besar, akan sulit terjadi dialog interaktif. Justru yang terjadi adalah serial monologue, dimana para anggota secara bergantian memberikan semacam pidato, bukan lagi interaksi dua arah.Sehingga seringkali, pendapat minoritas tidak sempat dimunculkan.

4. Conformity, Social Roles, and Obedience
     1. Conformity
Ketika kita menjadi anggota dari sebuah kelompok, kita cenderung untuk berperilaku seperti orang lain dalam kelompok, kita cenderung untuk menyesuaikan diri. Konformitas adalah menuruti karena adanya tekanan kelompok untuk berperilaku seperti yang semua orang lakukan meskipun tidak ada permintaan langsung untuk melakukannya. Orang – orang mungkin menyesuaikan diri karena dua alasan, yaitu untuk memperoleh hadiah dan menghindari hukuman atau untuk memperoleh informasi.
Kita dapat membuat pemikiran sendiri secara pribadi bahkan dalam tekanan orang lain, tetapi kita sering ikut serta dengan kebanyakan orang dalam hal tingkah laku yang tampak. Ketika respon yang seharusnya dalam sebuah situasi tidak jelas, kita melihat kepada orang lain untuk mendapatkan informasi dan setelah itu kita tidak hanya mengikuti pendapat mereka tetapi juga mengubah pendapat kita sendiri untuk menyesuaikan diri. Beberapa faktor yang meningkatkan kemungkinan konformitas terhadap kelompok yaitu:
a.       Ukuran kelompok
Lebih banyak orang dalam kelompok, lebih mungkin terjadi konformitas. Namun jika kelompok terlalu besar, maka konformitas akan hilang.
b.      Kesepakatan kelompok
Konformitas semakin tinggi ketika kita berhadapan pada sebuah kelompok yang semuanya mempunyai pandangan yang sama mengenai sebuah topik. Namun konformitas dikurangi ketika salah seorang dalam kelompok tidak merasakan hal yang sama (Nail, MacDonald, & Levy, 2000).
c.       Budaya dan konformitas
Percobaan Solomon Asch menunjukkan bahwa konformitas terjadi dalam semua budaya, namun orang – orang yang berasal dari budaya individual yang menekankan perhatian pada kesejahteraan individu kurang melakukan konformitas dibandingkan dengan orang – orang dari budaya kolektif yang menekankan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
d.      Gender dan konformitas
Menurut stereotype tradisional, penelitian yang dilakukan sebelum tahun 1950-an laki – laki lebih bebas dan kurang menyesuaikan diri dibandingkan dengan wanita. Namun penelitian baru – baru ini menunjukkan tidak ada lagi masalah perbedaan gender dalam hal konformitas (Eagly, 1978; Eagly & Johnson, 1990).

2.  Peran Sosial dan Norma Sosial
Ø  Peran sosial    : budaya ditentukanoleh  pedoman yang memberitahu orang apa perilaku yang diharapkan dari mereka.
Ø  Norma sosial  : pedoman yang diberikan oleh setiap budaya untuk menilai perilaku yang dapat diterima dan tidak dapat diterima.

Ketika individu bekerja bersama dalam kelompok, usaha dari setiap individu harus dikoordinasikan dengan yang lainnya untuk menghindari kekacauan. Oleh karena itu, setiap budaya telah mengembangkan peran sosial dan norma sosial untuk memberikan pedoman sebagaimana yang diharapkan dari kita. Setiap peran sosial memberikan pengharapan yang berbeda untuk sikap yang tepat. Peran sosial mempunyai pengaruh yang besar terhadap tingkah laku individu. Ketika kita ditempatkan pada peran yang baru, perilaku kita juga berubah untuk menyesuaikan dengan peran kita.
Untuk menyesuaikan diri dengan peran sosial kita, maka kita juga berperilaku sesuai dengan peraturan yang diucapkan maupun yang tidak diucapkan, yang dikenal sebagai norma sosial. Norma sosial dari budaya kita menjelaskan bagaimana seharusnya kita berperilaku dalam berbagai situasi.
3. Kepatuhan (Obedience)
Kepatuhan adalah melakukan sesuai dengan yang disuruh oleh orang yang memiliki kekuasaan. Stanley Milgram melakukan sebuah eksperimen untuk menguji tingkat ketaatan seseorang kepada otoritas yang berlaku pada suatu situasi (Milgram, 1963). Milgram mencari tentang seberapa jauh seseorang akan menuruti perintah dari suatu bentuk otoritas yang berada diatasnya pada siatuasi tertentu, jika perintah tersebut adalah perintah yang akan memberikan dampak menyakitkan kepada orang lain.
Banyak yang bertanya-tanya setelah terjadinya perang dunia kedua yang mengerikan, mengapa seseorang mampu untuk setuju saat diminta atau diperintahkan untuk berbuat kejam terhadap orang lain. Bukan hanya pada tentara saja, namun juga mengapa orang biasa yang dipaksa melakukan tindakan kejam dan mengerikan akan dapat dengan tega melakukannya, hal inilah yang membuat Milgram mengadakan penelitian ini.
Dalam penelitian ini yang ia lakukan adalah mencari tahu tentang perilaku manusia ketika diminta untuk memberikan kejutan listrik dalam beberapa kategori tegangan kepada manusia lainnya saat dalam eksperimen. Perilaku yang dimaksud dalam eksperimen ini adalah sejauh mana orang yang dijadikan subjek tersebut akan mematuhi perintah dari situasi dan mengabaikan keraguan tentang apa yang sedang mereka lakukan beserta dampaknya.
Situasi eksperimen yang diciptakan Milgram terlihat sangat mudah pada awalnya, dimana peserta diberitahu bahwa mereka terlibat dalam suatu bentuk percobaan belajar, para peserta diminta untuk menjadi operator alat kejut yang telah disediakan dan mereka akan diberikan arahan serta ditekankan bahwa mereka harus melakukannya sampai dengan akhir percobaan. Dikatakan kepada peserta bahwa mereka akan berada diantara guru dan pelajar, yang mana keduanya adalah aktor tanpa diketahui peserta karena mereka hanya mengetahui bahwa diri mereka hanya membantu dan bukan sebagai objek penelitian itu sendiri. Peserta yakin bahwa objek penelitian ini adalah ada pada pelajar dan bukan pada mereka. Para peserta duduk di depan mesin dengan banyak tombol dimana pada mesin tersebut terdapat label dari tegangan terendah sampai yang tertinggi, dikatakan bahwa mesin itu bernama Shock Machine atau mesin kejut, pada saklar ketiga yang mereka gunakan terdapat label “Bahaya: Tegangan Tinggi” dan dua saklar terakhir berlabelkan “XXX”. Masing-masing memiliki daya listrik yang semakin besar mulai dari 15 volt hingga 450 volt.
Selama percobaan, setiap kali si pelajar membuat kesalahan peserta diperintahkan untuk menambahkan tegangan sengatan listrik yang diberikan. Tentu saja si pelajar harus terus melakukan kesalahan sehingga operator yang malang tersebut harus tetap memberikan sengatan listrik yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi, lalu si pelajar akan menjerit kesakitan karena disetrum dan sampai akhirnya si pelajar diam tak bergerak. sang operator yang malang sebenarnya tidak memberikan sengatan listrik kepada si pelajar, si pelajar sudah berlatih untuk berakting sebelum percobaan berlangsung agar mereka dapat menirukan kondisi seseorang yang benar-benar tersengat listrik secara realistis. Si pelajar dengan sandiwaranya harus dapat meyakinkan sang operator kalau mereka benar-benar kesakitan karena tersengat listrik sehingga sang operator berasumsi bahwa kesakitan tersebut berasal dari mesin yang mereka kendalikan.
Saat Milgram mensurvey, dia memprediksikan bahwa tidak lebih dari 5% peserta yang akan tega memberikan tingkat setruman tertinggi. Ternyata hasil yang ditunjukkan cukup mencengangkan, bahwa sebanyak 65% peserta memutar saklar ke arah kanan sampai akhir, mereka diberikan segala bentuk stimulus seperti dengan si pelajar berteriak kesakitan, memohon untuk dihentikan dan sampai akhirnya jatuh terdiam.
Eksperimen ini tidak menggunakan mereka yang tergolong sadis dan terlibat dalam kejahatan pembunuhan atau penyiksaan sebelumnya, ini adalah orang biasa seperti Anda.

Sisi Positif dari Kelompok

Ada beberapa hal dimana seseorang tidak bisa menyelesaikannya jika bekerja sendiri.Walaupun benar bahwa jika sendirian individu akan menarik sampan lebih kuat dibandingkan bila dalam kelompok, namun kelompok yang terdiri dari empat orang akan bisa menarik sampan ke tepi dibandingkan bila menarik sendirian. Selain itu, kelompok juga dapat memberikan dukungan emosional dan kenyamanan kepada kita.

1 komentar: