PSIKOLOGI
SOSIAL
I. Defenisi Psikologi
Sosial
Psikologi
sosial, cabang dari ilmu Psikologi yang mempelajari bagaimana individu
berinteraksi dengan orang lain. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari konteks
sosialnya, dimana inidividu itu hidup. Insting kita memang secara natural untuk
membentuk hubungan dengan orang lain. Psikologi sosial juga mempelajari tentang
ketertarikan, needs (kebutuhan), dan pengaruh-pengaruhnya.
II.
Kelompok dan Pengaruh Sosial (Group and Social Influence)
1. Lynch
Mobs
Pergerakan dari kerumunan massa yang terdiri dari
sejumlah besar orang di dalamnya yang cenderung negatif. Dapat dicontohkan dari
berbagai aksi di Indonesia.Jika seseorang berada dalam kelompok, memiliki
kecenderungan lebih besar untuk melakukan tindakan-tindakan yang mungkin tidak
dilakukan orang tersebut dalam kondisi sendiri.Dalam beberapa situasi, bila
kita bergabung dalam suatu kelompok, kita dapat merasa aninimous dan
tidak teridentifikasi. Perasaan ini yang dikenal dengan istilah deindividuation
(Zimbardo, 1969). Jadi dapat dikatakan, diindividuation adalah
keadaan dimana seseorang akan rendah kesadarannya, mengenai apa yang mereka
lakukan dan apa yang orang lain pikirkan tentang mereka saat mereka dalam
kelompok. Dan ini meningkatkan kemungkinan mereka melakukan kegiatan yang tidak
mungkin mereka lakukan.Saat seseorang berada dalam deindividuation,seseorang
lebih agresif dari biasanya.
2. Uninvolved
by Standers
Kasus Kitty Genovese, suatu kejadian dimana kita
tidak melakukan sesuatu ketika kita melihat orang lain tidak melakukan sesuatu.
Ada sebuah penelitian yang mengatakan, jika seseorang berada dalam kerumunan
orang banyak, kita cenderung tidak akan menolong. Mengapa? Menurut Darley and
Latané, kehadiran orang lain mempengaruhi persepsi kita tentang perlukah orang
lain tersebut ditolong dan tanggung jawab kita untuk menolong. Diffusion of
responsibility, konsep dimana, apabila kita berada dalam suatu kelompok
berefek pada menurunnya tanggung jawab personal kita untuk berperilaku sesuai.
3. Working
and Solving Problems in Groups
Kita sebagai manusia sering bekerja sama dalam
sebuah kelompok. Misalnya belajar bersama, rapat untuk mendiskusikan masalah di
dalam perkuliahan ataupun bisnis kita.Apakah ini hal yang baik?Apakah bekerja
dalam kelompok menunjukkan sisi yang terbaik dari kita?Terkadang ya dan
terkadang tidak.Di beberapa situasi, menjadi anggota sebuah kelompok dapat
meningkatkan performa dari individu anggota kelompok tersebut.Hal ini disebut
dengan social facilitation (Levine, Resnick, & Higgins, 1993).Akan
tetapi, ada juga kemungkinan negatif saat seorang individu bergabung dalam
sebuah kelompok kerja.Terkadang menjadi anggota sebuah kelompok justru
mengurangi kinerja individu tersebut.Fenomena inilah yang disebut dengan social
loafing.
Ada dua keadaan yang menjadi variabel penentu yang
mengakibatkan terjadinya social loafing yaitu (a) banyaknya anggota kelompok,
dan (b) jenis tugas.Semakin besar sebuah kelompok, semakin berkurang
juga kontribusi individual masing-masing anggota kelompok (Sorkin, Hays, &
West, 2001). Hal ini dikarenakan oleh 3 hal yakni (1) individu percaya bahwa
anggota kelompok lain dapat berkontribusi lebih baik daripada dirinya, (2)
karena anggota kelompok lain tidak memberikan respon positif terhadap
kontribusi yang diberikan individu tersebut, atau (3) karena individu
merasa bahwa ia tidak begitu dibutuhkan dalam kelompok tersebut.
Jenis tugas merupakan faktor penting dalam
menunjukkan performa individu di dalam sebuah kelompok. Ketika mengerjakan
suatu jenis pekerjaan di dalam kelompok, seorang individu bisa saja merasa
terganggu dengan kehadiran individu yang lain. Tetapi bisa juga sebaliknya,
kehadiran individu lain justru memacu kinerja individu tersebut menjadi lebih
baik. Hal ini dibahas di dalam teori arousal yang sudah dipelajari sebelumnya.
Menurut teori tersebut, suatu pekerjaan yang mudah bagi individu akan semakin
mudah dan cepat terselesaikan apabila ada individu lain yang menyaksikannya.
Namun sebaliknya, pekerjaan yang sulit bagi individu akan semakin sulit dan
lama terselesaikan apabila ada individu lain yang menyaksikannya. Misalnya,
musisi professional yang sudah sangat terlatih biasanya bermain lebih baik saat
pertunjukannya disaksikan oleh banyak orang. Tetapi bagi musisi amatir yang
belum terlatih, kehadiran orang lain justru akan membuat penampilannya
terganggu.
Pemecahan
Masalah dalam Kelompok (Group Problem Solving)
Pada
umumnya, orang-orang lebih suka memecahkan masalah yang kompleks secara
kelompok daripada memecahkannya sendiri (Laughlin & others, 2003; Sorkin
& others, 2001). Tetapi ada saat dimana proses pengambilan keputusan
tersebut salah dan berakibat fatal walaupun individu-individu dalam kelompok
tersebut dianggap kompeten. Hal inilah yang disebut dengan groupthink
(Irvink Jannis, 1982). Ada 3 faktor yang dapat menyebabkan groupthink :
(1) Proses
polarisasi
Polarisasi merupakan suatu keadaan
dimana anggota kelompok menyatakan pendapatnya secara lebih ekstrim tanpa
memperhitungkan keadaan masalah yang sesungguhnya.
(2) Sifat
kohesif anggota kelompok
Cohesiveness merupakan
suatu keadaan dimana anggota kelompok saling terkait secara erat, cenderung
berpendapat sama, dan enggan menerima pendapat yang dianggap berbeda dari
pendapat umum. Oleh karena itu, pendapat dan keadaan yang bertentangan
seringkali tidak dimunculkan sehingga mengarah pada keputusan yang salah.Untuk
menghindari hal ini, paling tidak harus ada seorang anggota yang diminta untuk
memerankan peranan devil’s advocate, untuk selalu menyatakan
pendapat-pendapat yang berbeda dengan pendapat anggota kelompok pada umumnya.
(3) Jumlah
individu dalam kelompok
Jumlah anggota kelompok sangat
berpengaruh terhadap proses interaksi dalam kelompok. Dalam kelompok kecil,
interaksinya bersifat dialog interaktif karena semua dapat saling bertukar
pikiran secara langsung. Sedangkan dalam kelompok, besar, akan sulit terjadi
dialog interaktif. Justru yang terjadi adalah serial monologue, dimana para
anggota secara bergantian memberikan semacam pidato, bukan lagi interaksi dua
arah.Sehingga seringkali, pendapat minoritas tidak sempat dimunculkan.
4.
Conformity, Social Roles, and Obedience
1. Conformity
Ketika kita menjadi anggota dari sebuah kelompok, kita
cenderung untuk berperilaku seperti orang lain dalam kelompok, kita cenderung
untuk menyesuaikan diri. Konformitas adalah menuruti karena adanya tekanan
kelompok untuk berperilaku seperti yang semua orang lakukan meskipun tidak ada
permintaan langsung untuk melakukannya. Orang – orang mungkin menyesuaikan diri
karena dua alasan, yaitu untuk memperoleh hadiah dan menghindari hukuman atau
untuk memperoleh informasi.
Kita dapat membuat pemikiran sendiri secara pribadi
bahkan dalam tekanan orang lain, tetapi kita sering ikut serta dengan
kebanyakan orang dalam hal tingkah laku yang tampak. Ketika respon yang
seharusnya dalam sebuah situasi tidak jelas, kita melihat kepada orang lain
untuk mendapatkan informasi dan setelah itu kita tidak hanya mengikuti pendapat
mereka tetapi juga mengubah pendapat kita sendiri untuk menyesuaikan diri.
Beberapa faktor yang meningkatkan kemungkinan konformitas terhadap kelompok
yaitu:
a.
Ukuran
kelompok
Lebih banyak orang
dalam kelompok, lebih mungkin terjadi konformitas. Namun jika kelompok terlalu
besar, maka konformitas akan hilang.
b.
Kesepakatan
kelompok
Konformitas semakin
tinggi ketika kita berhadapan pada sebuah kelompok yang semuanya mempunyai
pandangan yang sama mengenai sebuah topik. Namun konformitas dikurangi ketika
salah seorang dalam kelompok tidak merasakan hal yang sama (Nail, MacDonald, & Levy, 2000).
c.
Budaya
dan konformitas
Percobaan Solomon
Asch menunjukkan bahwa konformitas terjadi dalam semua budaya, namun orang –
orang yang berasal dari budaya individual yang menekankan perhatian pada
kesejahteraan individu kurang melakukan konformitas dibandingkan dengan orang –
orang dari budaya kolektif yang menekankan kesejahteraan masyarakat secara
keseluruhan.
d.
Gender dan konformitas
Menurut stereotype
tradisional, penelitian yang
dilakukan sebelum tahun 1950-an laki – laki lebih bebas dan kurang menyesuaikan diri
dibandingkan dengan wanita. Namun penelitian baru – baru ini menunjukkan tidak
ada lagi masalah perbedaan gender dalam hal konformitas (Eagly, 1978; Eagly & Johnson, 1990).
2. Peran Sosial
dan Norma Sosial
Ø Peran
sosial : budaya ditentukanoleh pedoman yang
memberitahu orang apa perilaku yang diharapkan dari mereka.
Ø Norma sosial : pedoman yang diberikan oleh setiap budaya untuk menilai
perilaku yang dapat diterima dan tidak dapat diterima.
Ketika individu bekerja bersama dalam kelompok, usaha
dari setiap individu harus dikoordinasikan dengan yang lainnya untuk
menghindari kekacauan. Oleh karena itu, setiap budaya telah mengembangkan peran
sosial dan norma sosial untuk memberikan pedoman sebagaimana yang diharapkan
dari kita. Setiap peran sosial memberikan pengharapan yang berbeda untuk sikap
yang tepat. Peran sosial mempunyai pengaruh yang besar terhadap tingkah laku
individu. Ketika kita ditempatkan pada peran yang baru, perilaku kita juga
berubah untuk menyesuaikan dengan peran kita.
Untuk menyesuaikan diri dengan peran sosial kita, maka
kita juga berperilaku sesuai dengan peraturan yang diucapkan maupun yang tidak
diucapkan, yang dikenal sebagai norma sosial. Norma sosial dari budaya kita
menjelaskan bagaimana seharusnya kita berperilaku dalam berbagai situasi.
3. Kepatuhan (Obedience)
Kepatuhan adalah
melakukan sesuai dengan yang disuruh oleh orang yang memiliki kekuasaan. Stanley Milgram melakukan sebuah eksperimen
untuk menguji tingkat ketaatan seseorang kepada otoritas yang berlaku pada
suatu situasi (Milgram, 1963). Milgram mencari tentang seberapa jauh seseorang
akan menuruti perintah dari suatu bentuk otoritas yang berada diatasnya pada
siatuasi tertentu, jika perintah tersebut adalah perintah yang akan memberikan
dampak menyakitkan kepada orang lain.
Banyak yang
bertanya-tanya setelah terjadinya perang dunia kedua yang mengerikan, mengapa
seseorang mampu untuk setuju saat diminta atau diperintahkan untuk berbuat
kejam terhadap orang lain. Bukan hanya pada tentara saja, namun juga mengapa
orang biasa yang dipaksa melakukan tindakan kejam dan mengerikan akan dapat
dengan tega melakukannya, hal inilah yang membuat Milgram mengadakan penelitian
ini.
Dalam penelitian ini
yang ia lakukan adalah mencari tahu tentang perilaku manusia ketika diminta
untuk memberikan kejutan listrik dalam beberapa kategori tegangan kepada
manusia lainnya saat dalam eksperimen. Perilaku yang dimaksud dalam eksperimen
ini adalah sejauh mana orang yang dijadikan subjek tersebut akan mematuhi
perintah dari situasi dan mengabaikan keraguan tentang apa yang sedang mereka
lakukan beserta dampaknya.
Situasi eksperimen yang diciptakan Milgram terlihat sangat mudah pada
awalnya, dimana peserta diberitahu bahwa mereka terlibat dalam suatu bentuk
percobaan belajar, para peserta diminta untuk menjadi operator alat kejut yang
telah disediakan dan mereka akan diberikan arahan serta ditekankan bahwa mereka
harus melakukannya sampai dengan akhir percobaan. Dikatakan kepada peserta
bahwa mereka akan berada diantara guru dan pelajar, yang mana keduanya adalah
aktor tanpa diketahui peserta karena mereka hanya mengetahui bahwa diri mereka
hanya membantu dan bukan sebagai objek penelitian itu sendiri. Peserta
yakin bahwa objek penelitian ini adalah ada pada pelajar dan bukan pada mereka.
Para peserta duduk di depan mesin dengan banyak tombol dimana pada mesin
tersebut terdapat label dari tegangan terendah sampai yang tertinggi, dikatakan
bahwa mesin itu bernama Shock Machine atau mesin kejut, pada saklar ketiga yang
mereka gunakan terdapat label “Bahaya: Tegangan Tinggi” dan dua saklar terakhir
berlabelkan “XXX”. Masing-masing memiliki daya listrik
yang semakin besar mulai dari 15 volt hingga 450 volt.
Selama percobaan,
setiap kali si pelajar membuat kesalahan peserta diperintahkan untuk
menambahkan tegangan sengatan listrik yang diberikan. Tentu saja si pelajar
harus terus melakukan kesalahan sehingga operator yang malang tersebut harus
tetap memberikan sengatan listrik yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi, lalu
si pelajar akan menjerit kesakitan karena disetrum dan sampai akhirnya si
pelajar diam tak bergerak. sang operator yang malang sebenarnya tidak
memberikan sengatan listrik kepada si pelajar, si pelajar sudah berlatih untuk
berakting sebelum percobaan berlangsung agar mereka dapat menirukan kondisi
seseorang yang benar-benar tersengat listrik secara realistis. Si pelajar
dengan sandiwaranya harus dapat meyakinkan sang operator kalau mereka benar-benar
kesakitan karena tersengat listrik sehingga sang operator berasumsi bahwa
kesakitan tersebut berasal dari mesin yang mereka kendalikan.
Saat Milgram mensurvey, dia
memprediksikan bahwa tidak lebih dari 5% peserta yang akan tega memberikan
tingkat setruman tertinggi. Ternyata hasil yang
ditunjukkan cukup mencengangkan, bahwa sebanyak 65% peserta memutar saklar ke
arah kanan sampai akhir, mereka diberikan segala bentuk stimulus seperti dengan
si pelajar berteriak kesakitan, memohon untuk dihentikan dan sampai akhirnya
jatuh terdiam.
Eksperimen ini tidak
menggunakan mereka yang tergolong sadis dan terlibat dalam kejahatan pembunuhan
atau penyiksaan sebelumnya, ini adalah orang biasa seperti Anda.
Sisi
Positif dari Kelompok
Ada beberapa hal dimana seseorang tidak
bisa menyelesaikannya jika bekerja sendiri.Walaupun benar bahwa jika sendirian individu akan menarik
sampan lebih kuat dibandingkan bila dalam kelompok, namun kelompok yang terdiri
dari empat orang akan bisa menarik sampan ke tepi dibandingkan bila menarik
sendirian. Selain itu, kelompok juga dapat memberikan dukungan emosional dan
kenyamanan kepada kita.
menarik sekali infonya, terima kasih
BalasHapus