Rabu, 25 Juni 2014

Kalau kita mau, kita juga bisa bantu. :*

















observasi perkembangan kognitif, fisik, dan sosial TK terang bangsa











Behaviour and Attitude Change :Teori Disonansi Kognitif


Prejudice dan Stereotypes
Setiap Orang dalam kehidupan bermasyarakatnya pasti memilik suatu pandangan tentang orang lain, memiki Sikap(attitudes)  tersendiri tentang orang lain. Sikap tentang orang lain tersebut muncul di saat Seseorang bertemu dengan Seseorang lainnya.

 Dalam kehidupan sehari-hari, bukanlah tidak mungkin bahwa attitudes yang muncul itu bersifat negatif.  Hal ini mungkin saja disebabkan karena adanya persepsi yang kurang tepat mengenai seseorang tersebut karena ia berasal dari suatu kelompok tertentu. Suatu attitudes yang bersifat negatif, merugikan dan berbahaya karena adanya generalisasi yang kurang akurat terhadap sekelompok individu disebut prasangka.

Setiap orang dalam kehidupan bermasyarakat pasti berusaha menghindarkan diri dari memiliki prasangka terhadap kelompok-kelompok tertentu. Akan tetapi, secara tidak sadar, sebenarnya setiap individu bereaksi dengan cara yang berbeda-beda terhadap anggota dari kelompok yang berbeda. Meskipun hal ini selalu dihindari, namun kadang tidak dapat kita kendalikan dan muncul dengan tiba-tiba. Keadaan ini disebut juga dengan automatic prejudice.

 Pada umumnya, prasangka muncul berdasarkan warna kulit, agama, jenis kelamin, umur, atau karakteristik yang mudah terlihat lainnya. Munculnya prasangka ini dikarenakan kesalahan yang didasarkan generalisasi suatu kelompok yang kita sebut dengan stereotipe.
Stereotipe yang terdapat dalam diri seseorang tentang orang lain, baik yang positif maupun negative sebenarnya tetap merugikan diri sendiri maupun orang lain tersebut. Hal ini sangat berbahaya dikarenakan tiga alasan berikut :
1.      Stereotipe menyerap kemampuan kita untuk memperlakukan anggota suatu kelompok sebagai seorang individu.
Ketika kita tahu akan stereotipe suatu kelompok atau Ras tertentu, dan kemudian kita bertemu dengan seseorang yang berasal dari kelompok atau ras tersebut, maka tidak terhindarkan bahwa kita akan langsung berpikiran bahwa karakteristik orang tersebut adalah sama dengan stereotipe kelompok dimana ia berasal. Dengan pemikiran seperti itu, maka kita cenderung memperlakukan orang tersebut seperti anggota kelompok lainnya, tanpa memikirkan bahwa ia bisa saja memiliki karakteristik yang berbeda dengan kelompoknya.

2.      Stereotipe menyebabkan harapan akan sesuatu perilaku yang sempit.
Dengan adanya stereotipe tertentu, maka kita cenderung untuk memprediksikan perilaku seorang individu sesuai dengan perilaku kelompok individu tersebut. Apabila terjadi perbedaan perilaku yang muncul, maka kita cenderung menyatakan perilaku yang berbeda tersebut sebagai suatu penyimpangan atau abnormal.

3.  Stereotipe mengarahkan pada atribusi yang salah.
Teori atribusi menyatakan bahwa manusia cenderung selalu berusaha untuk menjelaskan mengapa suatu hal dapat terjadi, dan mencari tahu penyebabnya. Yang peling sering dilakukan yaitu berusaha menjelaskan suatu perilaku, bak yang dilakukan orang lain ataupun dilakukan sendiri.
 Jika seorang individu telah memiliki stereotipe tertentu , maka akan mempengaruhi  atribusi yang dilakukan individu tersebut.  Kesalahan atribusi ini kemudian juga memperkuat prasangka terhadap suatu kelompok tertentu, karena manusia cenderung hanya melihat fakta-fakta pendukung prasangka mereka dan menolak yang berlawanan.

Jika ditanyakan mengapa stereotipe dan Prasangka bisa muncul dalam lingkungan sosial, maka ada tiga sebab utama penyebab timbulnyaa stereotipe dan prasangka, yaitu :
1.      Konflik Realistik
Realistic conflict theory menyatakan bahwa individu yang sedang merasa frustasi atau marah ketika sedang berkompetesi dengan kelompok lain, akan melihat kelompok lain dengan pandangan yang sangat negatif.
2.      “Kita” versus “Mereka”
Individu dalam kehidupan bermasyarakat cenderung membagi diri menjadi dua kelompok. Kelompok “kita” dan kelompok “mereka”. Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Sherif dan Sherif (1953) , setelah serangkaian kegiatan, maka kedua kelompok mulai bersiteru dan mulai memberi nama panggilan. Ini menjadi awal munculnya prasangka.
       3. Social Learning ( Pembelajaran Sosial)
Tidak dapat dipungkiri bahwa prasangka dan stereotipe juga bersumber dari hasil belajar.proses nya biasanya terjadi dengan contoh “prasangka dan stereotipe yang di dilakukan orang lain atapun dari kerabat kita”

Memerangi prasangka, prasangka berbahaya bagi umat manusia. tapi apakah ada sesuatu yang bisa dilakukan tentang hal itu? ada beberapa penangkal efektif Yaitu:
1.      Mengenali  prasangka
Banyak orang yang tidak ingin mengakui bahwa dirinya juga memiliki prasangka terhadap suatu kelompok tertentu. Maka dari itu tahap pertama untuk melawan prasangka yaitu dengan menyadari terlebih dahulu prasangka yang sudah ada .

2.      Mengontrol  Automatic Prejudice
Ketika seorang  individu bahkan tidak menyadari bahwa ia memiliki prasangka, maka ia tidak akan mampu mengontrol reaksi yang muncul akibat automatic prejudice tersebut.  Bahkan disaat seseorang telah menyadari adanya prasangka dalam dirinya sendiri, tidaklah mudah untuk mengontrol reaksi yang muncul. Oleh karena itu, hal kedua yang harus dilakukan adalah berusaha mengontrol reaksi yang muncul tersebut.

3.      Meningkatkan hubungan antar Kelompok Berprasangka.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa prasangka adalah sesuatu yang dipelajari. Oleh karena itu, prasangka juga dapat diubah. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan interaksi langsung dengan kelompok lain. Akan tetapi interaksi tersebut dapat efektif jika terjadi dalam beberapa kondisi berikut yaitu :
a.       Kedua kelempok memiliki status yang setara
Ketika dua anggota kelompok dengan status yang berbeda berinteraksi, maka prasangka yang telah ada tersebut tidak mungkin akan dapat dihilangkan seperti anggota kelompok belajar di sekolah.
b.      Anggota setiap kelompok memandang anggota kelompok lain sebagai sama dengan kelompok yang mereka hormati, bukan sebagai pengecualian.
Ketika seorang individu berinteraksi dengan anggota dari suatu kelompok, namun mengganggapnya hanya sebagi pengecualian, prasangka terhadap kelompok tersebut tidak akan pernah bisa hilang.

c.       Kedua kelompok bekerja sama dalam tugas yang bersifat kooperatif bukan kompetitif.

kepribadian

Struktur Kepribadian menurut Horney
Idealisasi self-image
Horney menyatakan bahwa kita semua, normal maupun neurotik, membangun self-image sebagai gambaran idealisasi dari diri kita sendiri yang mungkin ataupun tidak didasarkan dari realitas.
Pada orang normal Self-image dibangun dalam penilaian yang realistikpada kemampuan dirinya, potensi, kelemahan, tujuan dan hubungan dengan orang lain. Image ini akan memberikan sebuah perhatian terhadap kesatuan dan penyatuan terhadap seluruh kepribadian dan menjadi suatu frame of referennce dari apa yang kita temui dalam diri kita sendiri maupun orang lain. Agar kita mampu meraih tujuan akhir dari realisasi diri (self-realization), perkembangan maksimum dan pemenuhan terhadap potensi-potensi yang kita miliki, self-image kita secara jelas akan merefleksikan diri kita sebenarnya.
Pada orang penderita neurotic yang mengalami permasalahan antara perilaku yang bertentangan, memiliki kepribadian yang ditandai dengan perpecahan dan ketidak harmonisan. Mereka membangun sebuah citra diri ideal untuk tujuan yang sama seperti orang normal lakukan untuk menyatukan kepribadiannya. Usaha dalam menyatukan menyebabkan kegagalan, karena citra diri mereka tidak berdasarkan pada penilaian realistis kekuatan pribadi dan kelemahan, tapi sebaliknya hal ini didasarkan pada ilusi.
Neurotik tidak puas dengan sedikit perubahan, tidak menerima yang belum sempurna. Ini yang kemudian yang dinamakan oleh Horney tirani kebolehan (tyrany of the should). Mereka memberitahu diri mereka sendiri, mereka dapat menjadi terbaik atau kebanyakan murid yg sempurna,karna mereka percaya hidup adalah ilusi mereka. Meyakini bahwa ada yang salah dengan dunia luar, mereka menganggap bahwa diri mereka itu khusus sehingga berhak diperlakukan sesuai dengan gambaran diri ideal mereka sendiri. Para penderita neurotik, kalau tuntutan mereka tidak terpenuhi, mereka menjadi marah, bingung, dan tidak mampu memahami mengapa orang lain tidak dapat memahami tuntutannya.
Neurotic tidak pernah puas dengan dirinya sendiri, karena mereka akhirnya menyadari bahwa dirinya tidak cocok dengan diri ideal yang mereka dambakan. Mereka kemudian mulai membenci dan memandang rendah dirinya sendiri. Horney mengemukakan 6 cara orang mengekspresikan kebencian diri itu :
1.      Menuntut kebutuhan kepada diri tanpa ukuran (relentles demands on the self)
Orang memunculkan kebutuhan diri yang tidak pernah berhenti. Bahkan ketika mereka mencapai keberhasilan, mereka terus mendorong dirinya sendiri untuk bergerak menuju kesempurnaan.
2.      Menyalahkan diri tanpa ampun (merciless self-accusation)
Orang neurotik yang terus menerus mencaci-maki dirinya sendiri. Menyalahkan diri bentuknya bermacam-macam, mulai dari ekspresi luar biasa, misalnya merasa bertanggung jawab terhadap bencana alam, sampai menanyai secermat-cermatnya kebaikan dari motivasinya sendiri.
3.      Menghina diri (self-contempt)
Diekspresikan dalam wujud memandang kecil, meremehkan, meragukan, mencemarkan, dan menertawakan diri sendiri. Menghina diri mencegah yang bersangkutan dari perjuangan untuk maju atau berprestasi.
4.      Frustasi diri (self-frustation)
Orang neurotik sering membelenggu dengan tabu unruk menentang kesenangan.
5.      Menyiksa diri (self-torment)
Pada dasarnya semua mekanisme diri rendah mengandung makna menyiksa diri. Namun menjadi berubah apabila tujuan orang neurotik itu membahayakan atau menyakiti diri sendiri. Banyak orang memperoleh kepuasan masokism dengan mengalami penderitaan akibat suatu keputusan, memperparah sakit kepala, melukai diri dengan pisau, menantang berkelahi dengan orang yang jauh lebih kuat atau mengundang siksaan fisik.
6.      Tingkah laku dan dorongan diri (self destructive action and impuls)

Bisa fisikal atau psikologikal, disadari atau tidak disadari, akut atau kronik, benar-benar dilakukan atau hanya dalam imajinasi. Orang-orang neurotik juga merusak diri secara psikologis, misalnya berhenti bekerja ketika karirnya mulai memuncak, memutus hubungan persahabat yang sehat dan memilih pergaulan yang neurotis, atau melakukan aktifitas seksual promiskuitas.

KONFORMITAS, PERANAN SOSIAL , DAN KETAATAN


Para psikolog mulai mencari jawaban atas pertanyaan yang mengganggu bagaimana orang-ornag biasa dapat dipengaruhi untuk melakukan kekejaman terhadap kaum Yahudi, Gipsi, dan kaum Minorotas lainnya pada perang dunia ke II. Seberapa besar orang-orang akan mengubah prilaku mereka untuk lebih selaras dengan apa yang orang lain lakukan? Seberapa mudah orang-orang mematuhi seseorang yang memiliki wewenang? Factor-faktor apa saja yang mempengaruhi apakah oranh-orang akan tahan pada pengaruh sosial? Dan pertanyaan ini masih relevan ketika kita berusaha memahami berbagai peristiwa saat ini seperti serangan kelompok yang dengki pada etnis minoritas, dan lain sebagainya. Berikut ini mengidentifikasi bagaimana manusia dipengaruhi kelompok sosial.
·         Konformitas
Konformitas adalah perubahan dalam perilaku seseorang untuk menyelaraskan lebih dekat dengan standar kelompok. Konformitas memiliki banyak bentuk dan mempengaruhi banyak aspek kehidupan seseorang. Misalnya Anak kuliah baru yang ikut dalam kelompok teman-teman yang minum-minuman keras sehingga menyebabkannya menjadi peminum, meskipun ia mungkin tidak pernah menjadi peminum sebelumnya.
Meskipun konformitas memiliki beberapa konotasi yang tidak menyenangkan tapi tidaklah keseluruhannya menjadi pengaruh yang buruk. Menyelaraskan dengan aturan dan peraturan memungkinkan masyarakat berjalan dengan lancar. Bayangkan bagaimana kacaunya jika orang-orang tidak menyelaraskan diri dengan norma sosial.
Penelitian konformitas dari Asch
Bayangkan anda berada pada situasi ini: anda memasuki ruangan dengan lima orang duduk mengitari sebuah meja. Seseorang dengan jubah putih laboratorium memasuki ruangan dan memberitahukan bahwa anda akan ikut dalam sebuah eksperimen mengenai keakuratan perceptual. Kelompok diperlihatkan dua kartu, kartu pertama berisi hanya satu garis vertical, dan kartu kedua berisi tiga garis vertical yang berbeda-beda. Tugas anda adalah menentukan mana dari ketiga garis pada kartu kedua memiliki panjang yang sama dengan garis pada kartu pertama. Anda melihat dan berfikir sudah jelas mana garis yang sama.
Yang tidak anda ketahui adalah orang lain dalam ruangan tersebut adalah sekutu yang berarti mereka bekerja untuk eksperimenter. Pada percobaan pertama setiap orang sepakat garis mana yang sama. Kemudian percobaan keempat, setiap orang memilh garis yang salah. Sebagai orang terakhir yang membuat pilihan anda mengalami dilema. Apakah menuruti apa yang anda lihat atau menyelaraskan dengan apa yg dikatakan orang sebelumnya. Menurut anda, bagaimana anda akan menjawab?
Solomon Asch melakukan eksperimen klasik mengenai konformitas (1956) ia meyakini sedikit dari subjek penelitiannya akan tunduk dengan tekanan kelompok. Untuk menguji hipotesisnya, Asch menginstruksikan sekutu untuk memberikan jawaban yang salah pada 12 dari 18 percobaan. Hal yang mengejutkannya Asch menemukan bahwa para subjek penelitian menyelaraskan dengan jawaban yang salah sebanyak 35persen. Penelitian telah menunjukkan bahwa tekanan untuk menyelaraskan kuat. Mengapa kita mau menyesuaikanbahkan ketika dihadapkan dengan informasi yang jelas? Para psikolog telah menangani pertanyaan ini dengan baik.
Beberapa faktor meningkatkan kemungkinan konformitas dengan kelompok:
1.      Ukuran kelompok.
 Konformitas akan meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah anggota kelompok. Semakin besar kelompok tersebut maka akan semakin besar pula kecenderungan kita untuk ikut serta, walaupun mungkin kita akan menerapkan sesuatu yang berbeda dari yang sebenarnya kita inginkan.
2.      Kesepakatan kelompok.
Kebulatan suara (Unanimity) Kelompok yang sepakat mendatangkan penyesuaian yang lebih besar dari para anggota, dibandingkan kelompok yang tidak bulat suaranya. Kehadiran suatu hal berbeda atau menyimpang memudahkan anggota lain untuk tidak menyesuaikan diri.
3.      Kebudayaan dan konformitas.
Kesesuaian terjadi pada semua budaya.

·         Social roles and Social norms
Ketika seseorang bekerja bersama dalam kelompok, upaya dari masing-masing individu perlu dikordinasiakan untuk menghindari kekacauan. Dalam menanggapi kebutuhan ini, peran sosial dan norma-norma sosial berkembang. untuk memberikan pedoman tentang apa yang diharapkan dari kita. Peran sosial memberitahukan kita bagaimana kita berprilaku. Dalam kuliah ini, kamu berperan sebagai seorang murid.

·         Ketaatan (obedience)
Ketaatan adalaha perilaku yang patuh pada perintah eksplisit individu yang ada pada posisi berkuasa. Yaitu, kita taat ketika sosok berkuasa memerintahkan kita melakukan sesuatu dan kita melakukannya. Dalam konformitas, orang-orang mengubah pikiran atau perilaku mereka sehingga akan lebih mirip dengan orang lain. Dalam ketaatan, terdapat perintah eksplisit untuk patuh.
Penelitian klasik oleh Stanley Milgram (1963,1965)
Bayangkan bahwa, sebagai bagian dari sebuah eksperimen dalam psikologi, anda diminta untuk memberikan serangkaian sengatan listrik yang menyakitkan pada orang lain. Anda diberitahu bahwa tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan dampak hukuman terhadap ingatan. Peran anda adalah menjadi ‘guru’ dan menghukum kesalahan yang dibuat oleh ‘siswa’. Setiap kali ‘siswa’ membuat kesalahan, anda meningkatkan intensitas sengatan listrikdengan jumlah tertentu.
Anda diperkenalkan pada ‘siswa’ seorang pria yang baik yang bergumam sesuatu mengenai kondisi jantungnya. Ia diikat pada ruang lain. Ia berkomunikasi dengan anda lewat intercom. Alat didepan anda memiliki 30 saklar, dengan rentang dari 15 volt (ringan) sampai 450 volt (bahaya). Sebelum eksperimen ini, anda telah diberikan sengatan listrik sebesar 75 volt untuk merasakannya.
Seiring dengan percobaan berjalan ‘siswa’ mendapatkan masalah dan tidak mampu memberikan jawaban yang benar. Haruskah anda memberikan sengatan listrik kepadanya? Seiring dengan anda meningkatkan intensitas sengatan listrik padanya, siswa berkata bahwa ia kesakitan. Pada tegangan 150 volt, ia meminta agar eksperimen dihentikan, pada tegangan 180 olt ia berteriak bahwa ia sudah tidak tahan lagi. Pada tegangan 300 volt, ia berteriak mengenai kondisi jantungnya dan memohon untuk dilepaskan. Namun, jika anda bimbang untuk memberikan sengatan listrik eksperimenter mengatakan bahwa anda tidak punya pilihan lain.
Sebelum penelitian ini milgran bertanya pada 40 psikiater bagaimana menurut mereka orang-orang berespons terhadap situasi tersebut. Para psikiater meramalkan bahwa kebanyakan ‘guru’ tidak akan memberikan sengatan listrik lebih dari 150 volt. Ternyata para psikiater salah menduga. Mayoritas ‘guru’ mematuhi eksperimenter kenyataannya hampir duapertiga memberikan sengatan listrik 450 volt.

Pria tersebut merupakan sekutu eksperimenter. Dalam penelitian milgram, siswa berpura-pura terkena sengatan listrik. Seperti yang dapat anda bayangkan para guru dalam eksperimen ini tidak nyaman memberikan sengatan lstrik pada siswa
Tugas Pendidikan (SLB)
KELOMPOK 5
Hotma Indra Hakim (13-013)
Juli Theresia (09-072)
Rifqy Tiara Balqish (13-029)
Dewi Sitepu (13-097)
Ester sihombing ( 13-109)
SLB-A  Tunanetra  
Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (Blind) dan low vision. Definisi Tunanetra menurut Kaufman & Hallahan adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan. Karena tunanetra memiliki keterbataan dalam indra penglihatan maka proses pembelajaran menekankan pada alat indra yang lain yaitu indra peraba dan indra pendengaran. Oleh karena itu prinsip yang harus diperhatikan dalam memberikan pengajaran kepada individu tunanetra adalah media yang digunakan harus bersifat taktual danbersuara, contohnya adalah penggunaan tulisan braille,  gambar  timbul, benda model dan benda nyata. sedangkan media yang bersuara adalah perekam suara dan peranti lunak JAWS. Untuk membantu tunanetra beraktivitas di sekolah luar biasa mereka belajar mengenai Orientasi dan Mobilitas. Orientasi dan Mobilitas diantaranya mempelajari bagaimana tunanetra mengetahui tempat dan arah serta bagaimana menggunakan tongkat putih (tongkat khusus tunanetra yang terbuat dari alumunium).

 Metode Pengajaran
1.      Metode Ceramah
Metode ini dapat diterapkan kepada siswa tunanetra karena dalam pelaksanaan metode ini guru menyampaikan materi pelajaran dengan penjelasan lisan dan siswa mendengar penyampaian materi dari guru.
2.      Metode Tanya Jawab
Metode ini dapat diterapkan kepada siswa tunanetra karena metode ini merupakan tambahan dari metode ceramah yang menggunakan indera pendengaran.

3.      Metode Diskusi
Metode ini dapat diterapkan kepada siswa tunanetra karena mereka dapat ikut berpartisipasi dalam kegiatan diskusi itu karena dalam metode diskusi kemampuan daya pikir siswa untuk memecahkan suatu persoalan lebih diutamakan. Dan metode ini bisa diikuti tanpa menggunakan indera penglihatan.
4.      Metode Sorogan
Metode ini dapat diterapkan kepada siswa tunanetra karena adanya bimbingan langsung dari guru kepada anak didik dan seorang guru dapat mengetahui langsung sejauh mana kemampuan anak didiknya dalam memahami suatu materi pelajaran.
5.      Metode Bandongan
Metode ini dapat diterapkan kepada siswa tunanetra Inti karena guru memberikan penjelasan materi kepada anak didik tidak secara perorangan. Metode ini merupakan kebalikan dari metode sorogan.Tunanetra dapat mengikuti metode ini, karena metode ini dapat diikuti dengan tanpa menggunakan indera penglihatan.
6.      Metode Drill
Metode ini dapat diterapkan kepada siswa tunanetra jika materi yang disampaikan dan media yang digunakan mampu mendukung mereka untuk memahami materi pelajaran.
Tujuan pembelajaran
·         Menjadikan murid lebih terampil dalam membuat sesuatu.
·         Menjadikan murid lebih mandiri dalam menghadapi suatu permasalahan.
·         Diharapkan murid lebih dapat bersosialisasi terhadap lingkungan di sekitarnya.

SLB-B Tunarungu
Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen. Klasifikasi tunarungu berdasarkan tingkat gangguan pendengaran adalah:
1.     Gangguan pendengaran sangat ringan(27-40dB),
2.     Gangguan pendengaran ringan(41-55dB),
3.     Gangguan pendengaran sedang(56-70dB),
4.     Gangguan pendengaran berat(71-90dB),
5.     Gangguan pendengaran ekstrem/tuli(di atas 91dB).
Karena memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara. Cara berkomunikasi dengan individu menggunakan bahasa isyarat, untuk abjad jari telah dipatenkan secara internasional sedangkan untuk isyarat bahasa berbeda-beda di setiap negara. saat ini dibeberapa sekolah sedang dikembangkan komunikasi total yaitu cara berkomunikasi dengan melibatkan bahasa verbal, bahasa isyarat dan bahasa tubuh. Individu tunarungu cenderung kesulitan dalam memahami konsep dari sesuatu yang abstrak.
 Metode Pengajaran
            Metode pengajaran yang paing tepat untuk digunakan di sekolah SLB B yang saya miliki adalah TCL (teacher centered learning). Saya memilih menggunakan metode ini karena saya berpikir anak-anak yang memiiki kekurangan mental apabila kita biarkan dan menyuruhnya belajar secara mandiri maka yang terjadi adalah anak tersebut akan bermain-main dengan temannya. Dengan pembelajaran yang berpusat pada guru maka murid yang memiliki kekurangan tadi dapat di bimbing oleh guru dalam melaksanankan pembelajaran di kelas. Selanjutnya guru tinggal focus pada perilaku murid, mengarahkan para murid. Yang dimaksud dengan mengarahkan adalah member pujian kepada anak yang melakukan suatu kebaikan dan melarang murid ketika dia melakukan sesuatu yang buruk.

Tujuan Pembelajaran
1.      Membantu anak tuna rungu dalam mengembangkan kemampuan mereka
2.      Membantu tuna rungu agar tidak tertinggal
3.      Memberi mereka kesempatan dalam berkarya
4.      Membantu memulihkan pendengaran mereka menggunakan fasilitas yang ada
5.      Memberi tahu mereka bahwa mereka tidak sendiri dan mereka memiliki teman
6.      Mengajarkan mereka tentang kehidupan
7.      Memberi mereka pengetahuan yang dapat digunakan untuk masa depan mereka
8.      Memotivasi mereka agar selalu bersemangat dalam menjalani hidup
SLB-C Tunagrahita
Tunagrahita adalah keadaaan keterbelakangan mental, keadaan ini dikenal juga retardasi mental (mental retardation). Retardasi mental adalah kondisi sebelum usia 18 tahun yng ditandai dengan lemahnya kecerdasan (biasanya nilai IQ-nya di bawah 70) dan sulit beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari. Ciri utama retardasi mental adalah lemahnya fungsi intelektual. Selain intelegensinya rendah anak retardasi mental juga sulit menyesuaikan diri dan berkembang. Sebelum muncul tes formal untuk menilai kecerdasan, orang reterdasi mental di anggap sebagai orang yang tidak dapat menguasai keahlian yang sesuai dengan umurnya dan tidak merawat dirinya sendiri.
Retardasi mental dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tipe :
1.      Retardasi mental ringan ( IQ 55-70)
Individu dengan retardasi mental ringan dapat mengembangkan kemampuan akademiknya hingga kelas 5 atau 6 sekolah dasar.
2.      Retardasi mental moderat ( IQ 40-54 )
Individu dengan kategori retardasi mental moderat dapat mengembangan keahlian seperti merawat diri, pertahanan diri dan sebagainya. Dapat berkembang hingga kurang lebih umur 7 tahun pada anak normal.
3.      Retardasi mental berat ( IQ 25-39 )
Individu dengan kategori ini sangat membutuhkan bantuan orang lain dalam kehidupannya sehari-hari.
4.      Retardasi mental parah ( IQ < 25 )
Individu dengan retardasi mental parah memerlukan perawatan yang lebih lanjut.

            Dalam Sekolah Luar Biasa khusunnya SLB-C untuk tunagrahita anak-anak dengan retardasi mental dapat digolongkan  menjadi dua tipe :
1.      Educabel
pada kategori ini anak-anak yang bersekolah adalah yang mampu didik atau yang disebut dengan anak-anak dengan retardasi mental ringan. Mereka dapat dididik sampai dengan kelas 5 atau 6 sekolah dasar dan dapat dimasukkan pada sekolah SLB-C.

2.      Trainable
Kategori Trainable atau mampu latih dapat diberikan pada anak-anak dengan retardasi mental moderat, yang bisa dilatih merawat dirinya sendiri, pertahanan diri, cara makan, minum, dan mandi, dan dapat juga dilatih untuk berkerja agar dapat mencari nafkah sendiri nantinya. Sekolah Luar biasa untuk kategori ini adalah SLB-C1.


Metode Pengajaran
·         SLB-C
Untuk anak SLB-C atau mampu didik metode pengajaran yang dapat digunakan adalah metode ceramah oleh guru seperti pada tingkat Sekolah Dasar lainnya. Dalam hal ini guru menerangkan materi yang diajarkan. Setelah itu guru dapat melakukan tanya jawab dengan murid sehingga murid lebih mampu untuk mengerti apa yang diajarkan. Guru juga bisa menggunakan alat peraga untuk beberapa pelajaran agar anak lebih tertarik untuk belajar dan mampu untuk mengingat lebih baik materi pembelajarannya. Setiap minggunya juga dapat dibuat pelaporan kinerja sehingga guru dapat mengetahui perkembangan anak secara baik juga memberikan reward bagi anak yang berkembang dengan baik dan disiplin dalam kelas.

·         SLB-C1
Untuk anak SLB-C1 atau mampu latih metode pengajaran yang dapat digunakan adalah ceramah secara efektif dengan menggunakan kontak mata yang baik, isyarat, juga suara yang jelas. Guru dapat membangun komunikasi yang baik dengan murid sehingga murud merasa nyaman saat belajar. Karena mereka merupakan murid yang mampu didik maka harus disediakan berbagai alat untuk menunjang pembelajaran mereka.

Tujuan Pembelajaran
·         SLB-C
-          Mengembangkan kemampuan akademik peserta didik secara optimal agardapat mandiri dalam kehidupan.
-          Menyiapkan peserta didik agar memiliki dasar-dasar kecerdasan, pengetahuan, keperibadian, serta akhlak yang mulia.
-          Membekali peserta didik untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih lanjut.
-          Menyiapkan peserta didik agar dapat bersosialisasi di masyarakat.

·         SLB-C1
-          Mengembangkan non akademik peserta didik secara optimal agar mandiridapat mandiri dalam kehidupan.
-          Menyiapkan peserta didik agar memiliki keterampilan untuk bekal hidup mandiri.
-          Mempersiapkan peserta didik agar menjadi anggota masyarakat yang trampil.
-          Menyiapkan peserta didik agar dapat bersosialisasi di masyarakat.

SLB-D Tunadaksa

Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk celebral palsy, amputasi, polio, dan lumpuh. Tingkat gangguan pada tunadaksa adalah ringan yaitu memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik tetap masih dapat ditingkatkan melalui terapi, sedang yaitu memilki keterbatasan motorik dan mengalami gangguan koordinasi sensorik, berat yaitu memiliki keterbatasan total dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik.
Metode pengajaran     
·         Ceramah
·         Diskusi Berkelompok
·         Praktek (Dalam pengjaran kegiatan agar lebih mandiri dalam kegiatan sehari-hari).

Tujuan Pembelajaran
·                     Tujuan Umum:
Meningkatkan status kesehatan dan mengurangi tingkat ketergantungan anak penyandang cacat di SLB.
·                     Tujuan Khusus:
1. Meningkatnya kemampuan tenaga kesehatan di puskesmas
dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan anak
penyandang cacat di SLB.
2. Memberi makna bahwa mereka dapat belajar apa yang anak normal lain  dapat pelajari (khususnya dalam hal akademis dan bakat).

SLB-E Tunalaras

Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. individu tunalaras biasanya menunjukan prilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku disekitarnya. Tunalaras dapat disebabkan karena faktor internal dan faktor eksternal yaitu pengaruh dari lingkungan sekitar
Metode Pengajaran:
Metode Pengajaran menggunakan Teacher Centered Learning (TCL) dikarenakan butuh control dari pengajar agar tidak terjadi kecelakaan akibat keterbatasan atau kekurangan pengendalian emosi.

Tujuan Pembelajaran
Untuk membantu akademis dan kesejahteraan anak-anak ABK terutama penyandang tuna Laras agar bisa bercampur dengan masyarakat di masa depan dan terjamin masa depan yang lebih baik